Uji Karbohidrat
ABSTRACT
Carbohydrates
can be analyzed qualitatively and quantitatively. Carbohydrates with certain
substances will produce certain colors that can be used for qualitative
analysis. Qualitative tests that can be performed for carbohydrate test include
Benedict test, Barfoed test, Seliwanoff test, relative saccharide sweetness
test, gelatinization of starch and microscopic starch identification. In the
Benedict test, glucose, maltose, fructose, lactose showed positive results,
while sucrose showed negative results. In the Barfoed test glucose, maltose,
fructose, lactose showed positive results, while sucrose showed negative
results. In the Seliwanoff test of sucrose and fructose yielded positive
results. In the relative sweetness of the saccharide the level of sweetness is
Fructose> Sucrose> Glucose> Lactose> Maltose. Gelatinization of
starch on banana starch, wheat flour and cornstarch is 70oC, potato
flour 60oC and black sticky rice 58oC.
Keywords:
barfoed test, benedict test,
carbohydrates, seliwanoff test, starch
PENDAHULUAN
Karbohidrat
banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa maupun
karbohidrat dengan berat molekul tinggi seperti pati, pektin, selulosa, lignin.
Berbagai polisakarida termasuk pati, banyak terdapat dalam serealian dan
umbi-umbian, selulosa dan pektin banyak terdapat dalam buah-buahan. Berdasarkan
sifat-sifat sakarida dan reaksi-reaksi kimia yang spesifik, karbohidrat dapat
dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Karbohidrat dengan zat tertentu
akan menghasilkan warna tertentu yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif
(Winarno, 2002).
Uji Benedict pada karbohidrat atau pada monosakarida
bertujuan untuk menentukan ada tidaknya kandungan gula pereduksi pada sampel
yang diujikan (Winarno,2002). Ada tidaknya sifat pereduksi dari suatu molekul
gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif.
Uji Barfoed dapat
digunakan untuk membedakan disakarida dan monosakarida (Sumardjo, 2009).
Pereaksi barfoed terdiri atas larutan kupriasetat dan asam asetat dalam air,
dan digunakan untuk membedakan antara monosakarida dengan disakarida.
Monosakarida dapat mereduksi lebih cepat daripada disakarida. Jadi Cu2O
terbentuk lebih cepat oleh monosakarida dari pada oleh disakarida, dengan
anggapan bahwa konsentrasi monosakarida dan disakarida dalam larutan tidak
berbeda banyak (Poedjiadi, 2005).
Apabila karbohidrat mereduksi suatu ion logam, karbohidrat
ini akan teroksidasi. Gugus aldehida pada karbohidrat akan teroksidasi menjadi
gugus karboksilat dan terbentuklah asam monokarboksilat. Sebagai contoh
galaktosa akan teroksidasi menjadi asam galaktonat, sedangkan glukosa akan
menjadi asam glukonat (Poedjiadi, 2005).
Larutan barfoed (campuran kupri asetat dan asam asetat)
akan bereaksi dengan gula reduksi (monosakarida) sehingga dihasilkan endapan
merah bata kuprooksida. Dalam suasana asam ini gula reduksi yang termasuk dalam
golongan disakarida memberikan reaksi yang sangat lambat dengan larutan barfoed
sehingga tidak memberikan endapan merah kecuali pada waktu percobaan yang diperlama (Sudarmadji, 2007).
Uji Seliwanoff dipakai untuk menunjukkan adanya ketoheksosa
misalnya fruktosa. Pereaksi Seliwanoff adalah resorsinol dalm asam klorida
encer. Pendidihan fruktosa dengan pereaksi Seliwanoff menghasilkan larutan
bewarna bewarna merah. Dua tahap reaksi terjadi dalam pendidihan ini yaitu
dehidrasi fruktosa oleh HCl yang ada dalam pereaksi Seliwanoff membentuk
hidroksimetilfurfural dan kondensasi hidroksimetilfurfural yang terbentuk
dengan resorsinol membentuk senyawa bewarna merah (Sumardjo, 2009).
Gelatinisasi adalah proses perubahan sifat fisik pati
karena adanya air dan pemanasan. Pada awal proses gelatinisasi,
granula pati yang berisi amilosa dan amilopektin mulai menyerap air. Penyerapan
air meningkat dengan meningkatnya suhu. (Fardiaz, 1996),
Menurut
Kusnandar (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi adalah sebagai
berikut ;
a. Sumber
pati, setiap jenis pati memiliki profil gelatinisasi yaitu suhu awal
gelatinisasi, suhu saat viscositas maksimal tercapai, nilai viscositas
maksimum, viscositas sel baik, viscositas akhir dan kstabilan pengadukan.
b. Ukuran
granula pati, ukuran granula pati dapat mempengaruhi profil glatinisasi.
Semakin besar ukuran granula maka suhu awal glatinisasi semakin rendah dan
memiliki viscositas semakin tinggi.
c. Asam,
semakin tinggi tingkat ke asaman atau pH rendah, maka hidrolisis pati akan
semakin besar. Gula, penambahan gula menyebabkan proses gelatinisasi menjadi
lambat karena gula bersifat hidroskopis maka gula akan mengikat sebagian air
dalam suspensi pati.Suhu pemanasan, semakin tinggi suhu maka pati akancepat
mengalami viscocity break down. Pengadukan, proses pengadukan yang berlebihan
dapat menyebabkan pemecahan granula pati berlangsung cepat.
Mekanisme gelatinisasi secara umum terjadi dalam tiga
tahap, yaitu: (1)
penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang
secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke
dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara
molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap
air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya dan (3) granula
pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari
granula (Swinkels, 1985).
Pati atau amilum adalah karbohidrat
kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak
berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk
menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang
(Kimball, 1983).
Pati adalah suatu polisakarida yang
mengandung amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida berantai
lurus bagian dari butir-butir pati yang terdiri atas molekul-molekul glukosa -1,4-glikosidik. Amilosa merupakan
bagian dari pati yang larut dalam air, yang mempunyai berat molekul antara
50.000-200.000, dan bila ditambah dengan iodium akan memberikan warna biru.
Amilopektin merupakan polisakarida bercabang bagian dari pati, terdiri atas molekul-molekul glukosa yang terikat
satu sama lain melalui ikatan 1,4-glikosidik
dengan percabangan melalui ikatan 1,6-glikosidik pada setiap 20-25 unit
molekul glukosa. Amilopektin merupakan bagian dari pati yang tidak larut dalam
air dan mempunyai berat molekul antara
70.000 sampai satu juta. Amilopektin dengan iodium memberikan warna ungu hingga
merah (Lehninger, 1988). atau asam dilakukan oleh asam atau enzim. Jika pati
dipanaskan dengan asam akan terurai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil
secara berurutan dan hasilnya adalah glukosa.
Tujuan dari pengamatan ini yaitu Mengidentifikasi
sakarida dengan uji benedict, uji barfoed, uji seliwanoff. Membandingkan
kemanisan relatif dengan berbagai jenis gula secara indrawi, mengamati perubahan dan suhu gelatinisasi pati dan
mengidentifikasi pati dengan mikroskop cahaya.
BAHAN DAN METODE
Alat dan
Bahan
Alat yang digunakan antaralain: cover glass, batang pengaduk, beaker
glass, hot plate, krustang, mikroskop, neraca analitik, object glass, penjepit kayu, penangas
air, pipet tetes, spatula dan tabung reaksi.
Bahan yang digunakan antaralain:
kristal Na Sitrat, Na2CO3 anhidrous, akuades, kupri
sulfat, ksistal kuprti asetat, laritan reselsinol, HCl encer, larutan benedict, larutan barfoed, larutan
seliwanof, sampel glukosa, fruktosa, laktosa, maltosa 10 %, tepung kentang,
tepung pisang, tepung maizena, tepung terigu, tepung ketan.
Uji Benedict
Ditambahkan kedalam tabung
reaski dua tetes sampel dan satu mL
larutan benedict, kemudian dipanaskan
selama lima menit, dan diamati
perubahan warna yang terjadi.
Uji Barfoed
Ditambahkan kedalam tabung
reaski dua tetes sampel dan satu mL
larutan barfoed, kemudian dididihkan dalam penangas air selama 10 menit, dan diamati perubahan warna yang
terjadi.
Uji Seliwanoff
Ditambahkan kedalam tabung
reaski 1-2 sampel dan 2 mL
larutan barfoed, kemudian dididihkan dalam penangas air selama 30 menit, dan diamati perubahan warna yang
terjadi.
Uji Kemanisan
Relatif Disakarida
Dicicipi larutan sampel
glukosa, sukrosa, laktosa, maltosa secara bergantian, kemudian berkumur. setelah mencicipi
satu sampel berkumur terlebih dahulu. Berkumur ini bertujuan untuk menciptakan
suasana netral didalam lidah. dan beri nilai. Sukrosa menjadi acuan dengan nilai 100.
Uji
Gelatinisasi Pati
Ditimbang sampel 5 gram, kemudian susupensikan
sampel menjadi 50 mL
dengan ditambahkan akuades, kemudian dipanaskan
dalam penangas air, diamati
perubahan, dan suhu awal dimana terjadi perubahan tersebut. Setelah mencapai
suhu 70, diambil beberapa tetes granula-granula
pati tersebut, dan diteteskan dengan bantuan pipet pada objek gelas, kemudian
ditutup dengan cover glass, dan
diamati granula-granula pati dengan mikroskop cahaya.
Identifikasi Pati dengan Mikroskop
Dimasukan 1-2 tetes
sampel kedalam beaker glass, ditambahkan akuades 50 mL, dan diaduk sampai homogen.
Pada tahap selanjutnya dibuat preparat, ada dua perlakuan, yaitu dengan
ditambahkan KI dan tidak ditambahkan KI. Diamati dan bandingkan hasil preparat tersebut
pada mikroskop.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelompok
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
Sampel
|
Glukosa
|
Sukrosa
|
Maltosa
|
Laktosa
|
Fruktosa
|
Warna sampel
|
bening
|
bening
|
bening
|
bening
|
bening
|
Warna pereaksi
|
biru
|
biru
|
biru
|
biru
|
biru
|
Warna setelah pemanasan
|
merah bata
|
biru
|
orange kecoklatan
|
coklat
|
merah bata
|
Warna endapan
|
merah bata
|
tidak ada
|
orange kecoklatan
|
coklat
|
merah bata
|
Kesimpulan
|
+
|
-
|
+
|
+
|
+
|
Dari hasil praktikum uji benedict glukosa, maltosa, laktosa dan fruktosa menunjukkan
hasil yang positif sedangkan sukrosa tidak karena sukrosa bukan merupakan gula
pereduksi karena tidak adanya gugus OH bebas. Gula reduksi adalah gula yang
memiliki gugus aldehid (aldosa) atau keton (ketosa) bebas (Makfoeld dkk, 2002).
Aldosa mudah teroksidasi menjadi asam aldonat, sedangkan ketosa hanya dapat
bereaksi dalam suasana basa (Fennema, 1996).
Sukrosa merupakan disakarida yang tersusun atas sebuah
α-D-glucophyranosil dan β-D-fructofuranosyl yang berikatan antar ujung
reduksinya. Sukrosa tidak mempunyai ujung pereduksi sehingga termasuk dalam
gula non pereduksi (Fennema, 1996).
Gambar 1. Reaksi pada Uji Benedict
(Sumber: Sumardjo,
2009)
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Barfoed
Kelompok
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
Sampel
|
Glukosa
|
Sukrosa
|
Maltosa
|
Laktosa
|
Fruktosa
|
Warna sampel
|
bening
|
bening
|
bening
|
bening
|
bening
|
Warna pereaksi
|
biru
|
biru
|
biru
|
biru
|
biru
|
Warna setelah pemanasan
|
biru
|
biru
|
biru
|
biru
|
biru
|
Warna endapan
|
merah
|
tidak ada
|
merah
|
merah
|
merah
|
Kesimpulan
|
+
|
-
|
+
|
+
|
+
|
Dari hasil uji Barfoed glukosa, maltosa, laktosa dan fruktosa menunjukan
hasil yang positif sedangkan sukrosa tidak. Menurut Rao, 1992 yang seharusnya
mendapatkan hasil positif hanyalah glukosa dan fruktosa sedangkan maltosa,
laktosa dan sukrosa tidak karena maltosa, laktosa dan sukrosa merupakan
disakarida yang seharusnya menunjukkan hasil yang negatif pada uji Barfoed,
karena uji barfoed adalah uji untuk membedakan monosakarida dari disakarida.
Monosakarida berekasi lebih cepat dengan pereaksi Barfoed membentuk endapan
merah (Ahluwalia dan Sunita, 2000).
Gambar 2. Reaksi pada Uji Barfoed
(Sumber:
Ahluwalia dan Sunita, 2000)
Larutan
Barfoed harus dibuat segar karena mengandung asam asetat glasial dan asam
asetat glasial mudah rusak sehingga harus dibuat larutan yang segar. Kesalahan yang mungkin terjadi yaitu karena terlalu
lama dipanaskan karena bila pemansan lebih lam disakarida juga dapat bereaksi
dengan pereaksi Barfoed membentuk endapan bewarna merah. Selain itu mungkin
antar sampel ada yang tercampur dan juga pencucuian tabung reaksi yang tidak
bersih sehingga endapan merah pun terbentuk.
Tabel 3. Hasil Pengamatan Uji Seliwanoff
Kelompok
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
Sampel
|
Glukosa
|
Sukrosa
|
Maltosa
|
Laktosa
|
Fruktosa
|
Warna sampel
|
bening
|
bening
|
bening
|
bening
|
bening
|
Warna pereaksi
|
bening
|
bening
|
bening
|
bening
|
bening
|
Warna setelah pemanasan
|
merah muda
|
merah muda ++++
|
merah muda +++
|
merah muda ++
|
merah muda +++++
|
Warna endapan
|
tidak ada
|
tidak ada
|
tidak ada
|
tidak ada
|
tidak ada
|
Kesimpulan
|
+
|
++++
|
+++
|
++
|
+++++
|
Dari
hasil uji Seliwanoff pada sampel fruktosa dan sukrosa menunjukkan hasil
positif, sedangkan pada glukosa, maltosa dan laktosa larutan merah yang
dihasilkan hanya seulas tidak seperti pada fruktosa dan sukrosa yang
menunjukkan warna merah yang sangat nyata. Sukrosa dan fruktosa memiliki gugus
ketosa sehingga dengan pereaksi Seliwanoff akan membentuk larutan bewarna
merah. Warna merah ini dadapatkan dari dehidrasi fruktosa oleh HCl yang ada dalam pereaksi
Seliwanoff membentuk hidroksimetilfurfural dan kondensasi hidroksimetilfurfural
yang terbentuk dengan resorsinol membentuk senyawa bewarna merah
(Sumardjo, 2009).
Tabel
4. Kemanisan Relatif Sakarida
Kel
|
Glukosa
|
Sukrosa
|
Maltosa
|
Laktosa
|
Fruktosa
|
|
6
|
60
|
100
|
40
|
30
|
110
|
|
7
|
80
|
100
|
60
|
40
|
120
|
|
8
|
90
|
100
|
60
|
30
|
120
|
|
9
|
90
|
100
|
50
|
40
|
120
|
|
10
|
90
|
100
|
50
|
70
|
130
|
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Pengujian
dilakukan untuk menguji kemanisan relatif dari sakarida. Sampel yang digunakan
adalah glukosa, fruktosa, maltosa, dan sukrosa. Larutan sukrosa mempunyai nilai
100 sebagai standar dari
rasa manis. Praktikum dilaksanakan dengan cara sampel dicicipi oleh praktikan
dengan menggunakan sendok yang berbeda dan berkumur setelah menguji satu sampel
dan sebelum menguji sampel yang lain. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan keakuratan
pengujian, karena rasa manis setiap sampel akan dapat mempengaruhi kemanisan
sampel yang lainnya.
Menurut literatur kemanisan glukosa
bernilai 69, sukrosa bernilai 100, maltosa bernilai 46, laktosa bernilai 39 dan
fruktosa bernilai 114. Dari kelompok 6-10 yang memiliki keakuratan paling
tinggi yakni kelompok 9. Setiap kelompok nilai yang dihasilkannya berbeda-beda
karena panelis atau penyicipnya orang yang berbeda pula yang memiliki tingkat
kepekaan yang berbeda, sehingga nilai-nilai yang dihasilkan pun berbeda.
Berdasarkan tabel diatas dapat
disimpulkan tingkat kemanisan sakarida sebagai berikut: Fruktosa>Sukrosa>
Glukosa> Laktosa>Maltosa. Selain gula berkalori ada pula gula
non kalori. Gula non kalori, gula yang bukan berasal dari monosakarida
karbohidrat sehingga memiliki nilai kalori yang sangat sedikit, contoh gula
stevia memiliki rasa manis disebabkan karena dua komponen yaitu stevioside (3 –
10% berat kering daun) dan rebaudioside (1 – 3%) yang dapat dinaikkan 250 kali
manisnya dari sukrosa (Buchori, 2007).
Gelatinisasi
pada Tepung Pisang
Tepung pisang adalah salah satu cara
pengawetan pisang dalam bentuk olahan. Cara membuatnya mudah, sehingga dapat
diterapkan di daerah perkotaan maupun pedesaan. Pada dasamya, semua jenis
pisang dapat diolah menjadi tepung pisang, asal tingkat ketuaanya cukup.
Tetapi, sifat tepung pisang yang dihasilkan tidak sama untuk masing-masing
jenis pisang. Pisang.yang paling baik menghasilkan tepung pisang adalah pisang
kepok. Tepung pisang yang dihasilkannya mempunyai wama yang lebih putih
dibandingkan dengan yang dibuat dari pisang jenis lain. Kelemahannya adalah
aroma pisangnya kurang kuat. Tepung pisang mempunyai rasa dan bau yang khas
sehingga dapat digunakanpada pengolahan berbagai jenis makanan yang mengggunakan
tepung (tepung beras, terigu) di dalamnya. Dalam hal ini, tepung pisang
menggantikan sebagian atau seluruh tepung lainnya. Dalam industri tepung
pisang, banyak digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan puding, makanan
bayi, roti (terutama di Ekuador) dan lain-Iain (Widowati, 2001).
Tepung pisang memiliki kadar pati yang
cukup tinggi, tepung pisang pada percobaan setelah dipanaskan mengalami
perubahan warna dari coklat muda menjadi cokelat tua, dan viskositas meningkat.
Tepung pisang ini tergelatinisasi pada suhu 70oC.
Gelatinisasi
pada Tepung Ketan Hitam
Tepung ketan merupakan tepung yang
terbuat dari beras ketan hitam atau putih, dengan cara
digiling/ditumbuk/dihaluskan. Tepung ketan putih teksturnya mirip
tepung beras, tetapi bila diraba tepung ketan akan terasa lebih berat melekat.
Untuk membedakan dengan tepung beras, larutkan dengan sedikit air. Larutan
tepung beras akan lebih encer sedangkan larutan tepung ketan akan lebih kental.
Hal ini disebabkan tepung ketan lebih banyak mengandung pati yang berperekat.
Tepung beras ketan diperoleh dari hasil penggilingan beras ketan yang kemudian
diayak dengan kehalusan 200 mesh. Beras ketan merupakan salah satu varietas Oryza
sativa.L golongan glutinous rice. Beras ketan ini memiliki kandungan
pati yang tinggi, dengan kadar amilosa 1-2% dengan kadar amilopektin 98-99%,
semakin tinggi kandungan amilopektinnya semakin lekat sifat berat tersebut
(Winarno,2002).
Menurut Nailufar (2012) , dalam beras
ketan hitam (Oryzasativa glutinosa) terdapat warna antosianin yang dapat
digunakan sebagai pewarna alami pada makanan. Warna beras ketan hitam
disebabkan oleh sel-sel pada kulit ari yang mengandung antosianin. Antosianin
merupakan pigmen berwarna
merah, ungu dan biru yang biasa terdapat pada tanaman tingkat tinggi (Eskin
dalam Tensiska et al,2007). Tepung ketan setelah dipanaskan
mengalami perubahan warna dari ungu menjadi ungu tua, dan viskositas meningkat.
Tepung ketan hitam ini tergelatinisasi pada suhu 58oC.
Gelatinisasi
pada Tepung Terigu
Tepung terigu mengandung pati ± 70% yang terbagi sebagai fraksi amilosa 19-26% dan
amilopektin 74-81%. Tepung terigu berfungsi sebagai bahan pengikat karena
memiliki kemampuan mengikat air. Pati terigu pada tekanan 1 atmosfer dan suhu
21oC dapat menyerap air minimal 36% sehingga akan menyebabkan
pengembangan granula pati (Putera, 2005). Tepung terigu setelah dipanaskan
mengalami perubahan warna dari putih menjadi putih susu, dan viskositas
meningkat. Tepung terigu tergelatinisasi pada suhu 70oC.
Gelatinisasi
Pada Tepung Kentang
Kentang mempunyai kulit yang sangat tipis dan
sangat lunak serta berkadar air cukup tinggi. Hasil panen dalam bentuk segar
berkadar air sekitar 78 % sehingga mudah rusak oleh pengaruh mekanis. Kerusakan
ini mengakibatkan masuknya jasad renik ke dalam umbi kentang yang mengakibatkan
kentang cepat mengalami pembusukan. Karena itu perlu dilakukan penanganan baik
selama pemanenan, pengangkutan, penyimpanan maupun
dalam pengolahannya menjadi bentuk lain yang dapat meningkatkan nilai
ekonominya, di antaranya diolah menjadi tepung kentang (Morris, 1984).
Masalah yang dihadapi pada pengolahan
pembuatan tepung kentang yaitu
tepung yang dihasilkan seringkali berwarna kecoklatan. Hal ini terjadi karena
proses pencoklatan baik enzimatis maupun non enzimatis, sebelum pengolahan
maupun setelah menjadi tepung kentang, sehingga tepung yang dihasilkan
kurang disukai oleh konsumen (Tranggono, 1990).
Tepung kentang setelah dipanaskan
mengalami perubahan warna dari putih agak bening menjadi putih, dan viskositas
meningkat. Tepung kentang tergelatinisasi pada suhu 70oC.
Gelatinisasi
pada Tepung Maizena
Tepung maizena atau pati jagung
terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, terdapat varietas
jagung yang tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous
corn. Sebaliknya, terdapat pula varietas 9 jagung yang mengandung amilosa
dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas tersebut dinamakan high-amylose
corn (Mauro dkk, 2003).
Tepung maizena setelah dipanaskan tdak
mengalami perubahan warna akan tetapi viskositas meningkat. Tepung maizena
tergelatinisasi pada suhu 70oC. Dari praktikum ini dapat di ketahui
gelatinisasi adalah peristiwa pembentukan gel karena adanya pembengkakan
granula pati yang disebabkan oleh penyerapan air selama pemanasan. Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi proses gelatinisasi pada tepung jagung ini
adalah konsentrasi pati dan suhunya. Hal ini sesuai dengan Winarno (2002) yang
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi adalah kadar pH,
konsentrasi pati, suhu, dan penambahan senyawa lain.
Pada praktikum apabila suhu dinaikan
maka viskositas akan menurun, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini terjadi karena adanya gerakan partikel-partikel
cairan yang bergerak semakin cepat apabila suhu ditingkatkan sehingga
kekentalannya akan menurun. Hal ini sesuai dengan Kartika (1990) yang
menyatakan bahwa viskositas berbanding terbalik dengan suhu. Jika suhu naik
maka viskositas akan turun, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini terjadi karena adanya gerakan
partikel-partikel cairan yang semakin cepat apabila suhu ditingkatkan dan
menurunkan kekentalannya.
Hasil yang didapat dari setiap
perlakuan menunjukkan penurunan, hal ini terjadi karena tepung dengan
konsentrasi rendah memerlukan waktu yang lama untuk membentuk gel sedangkan
tepung dengan konsentrasi tinggi lebih cepat mengalami gelatinisasi. Hal ini
sesuai dengan Winarno (2002) yang menyatakan suhu gelatinisasi tergantung juga
pada konsentrasi pati. Semakin kental larutan, suhu tersebut makin lambat
tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang
turun.
Perbedaan gelatinisasi dan suhu
gelatinisasi adalah gelatinisasi adalah eristiwa pembentukan gel karena adanya
pembengkakan granula pati yang disebabkan oleh penyerapan air selama pemanasan,
sedangkan suhu gelatinisasi adalah suhu ketika pati mulai mengental.
Dari hasil praktikum gelatinisasi pada
tepung, rata-rata tepung memiliki suhu gelatinisasi 70oC. Tepung
ketan hitam memiliki suhu gelatinisasi terendah yaitu 58oC dan juga
saat dilihat secara mikroskopis ukuran patinya terlihat membengkak setelah
gelatinisasi.
Pati dengan reagen Yodium-KI untuk
larutan atau langsung pada kentang atau bahan lainnya seperti roti, biskuit,
atau tepung. Sebuah hasil berwarna biru-hitam jika terdapat pati. Jika amilosa
pati tidak ada, maka warna akan tetap oranye atau kuning. Amilopektin pati
tidak memberikan warna, juga tidak ada selulosa, juga disakarida seperti
sukrosa dalam gula (Nurhalim, 2009).
KESIMPULAN
Dari
hasil praktikum, pada uji Benedict, glukosa,
maltosa, fruktosa, laktosa menunjukkan hasil yang positif, sedangkan sukrosa
menunjukkan hasil yang negatif. Pada uji Barfoed glukosa, maltosa, fruktosa,
laktosa menunjukkan hasil yang positif, sedangkan sukrosa menunjukkan hasil
yang negatif.. Pada uji Seliwanoff sukrosa dan fruktosa menghasilkan hasil yang
positif. Pada kemanisan relatif sakarida tingkat kemanisannya yaitu Fruktosa>Sukrosa>Glukosa>Laktosa>Maltosa.
Gelatinisasi pati pada pati pisang, tepung terigu dan tepung maizena adalah 70oC,
pada tepung kentang 60oC dan pada tepung ketan hitam 58oC.
DAFTAR PUSTAKA
Ahluwalia, V. K. dan Sunita D. 2000. Comprehensive
Practical Organic Chemistry Qualitative Analysis. Universities Press,
Delhi.
Buchori, L. 2007. Pembuatan Gula Non Karsinogenik Non
Kalori dari Daun Stevia dalam Reaktor, Vol. 11 No.2, Desember 2007. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Fardiaz, S. 1996. Prinsip HACCP Dalam Industri Pangan.
Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry Third Edition.
University of Wiscorsin Madison, New York.
Kartika, Bambang. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan
Pangan. Penerbit Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Yogyakarta.
Kimball, John W. 1983. Bilogi Jilid 2 Edisi ke 6.
Erlangga, Jakarta.
Kusnandar, Feri. 2010. Kimia Pangan Komponen Pangan.
PT. Dian Rakyat, Jakarta.
Lehninger, A. L. 1988. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1.
Erlangga, Jakarta.
Makfoeld, Djarir dkk. 2002. Kamus Istilah Pangan dan
Nutrisi. Kaninus, Yogyakarta.
Mauro DJ, Abbas IR, Orthoefer FT. 2003. Corn Starch
Modification and Uses di dalam : White PJ, Johnson LA, editor corn : Chemistry
and Technology Ed ke 2. American Association Cereal Chemists Inc, Minesota.
Morris, S. C. 1984. The Toxicity and Teratogenecity
of Solanaceae Glikoalkaloids, Particulary those of The Potato. Food
Technology, Australia.
Nailufar, Aini Amalia., Basito, dan Choirul Anam.
2012. Kajian Karakteristik Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa) Pada
Beberapa Jenis Pengemas Selama Penyimpanan. Jurnal Teknosains Pangan 1 (1) :
121-132
Poedjiadi, Anna. 2005. Dasar – Dasar Biokimia.
UI-Press,Jakarta.
Putera, Feri S. 2005. Teknologi Tepat Guna Cara
Praktis Pembuatan Pempek Palembang. Kanisius, Yogyakarta.
Rao, Srinivas B. 1992. Practical Biochemistry for
Medical Students. Academic Publisher, Calcutta.
Sudarmadji, Slamet, dkk. 2007. Analisa Bahan Makanan
dan Pertanian. Penerbit Liberty; Yogyakarta.
Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Swinkels JJM. 1985. Source of Starch, Its Chemistry
and Physics. Di dalam: Beynum V dan JA Roels (eds). Starch Conversion
Tehnology. Marcel Dekker Inc., New York.
Tranggono dan Sutardi, 1990. Biokimia, Teknologi Pasca
Panen dan Gizi. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Widowati, S. dan Djoko S. Damardjati. 2001. Menggali
Sumberdaya Pangan Lokal dan Peran Teknologi Pangan Dalam Rangka Ketahanan
Pangan Nasional. Puslitbang Bulog, Jakarta.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
PDFnya disini
Kalau linknya bermasalah bisa komen di bawah atau kontak aku di ig ya
Tidak ada komentar: