Air dalam Sistem Pangan



ABSTRACT

Activity water is is the ratio of air pressure in foods with pure air at the same temperature. Water content is the total amount of water contained in the food. The relationship of water content to water activity is illustrated by water sorption isotherms curve. From day to day on both samples there is a decrease in weight due to the water absorbed by saturated salt solution. The saturated salt solution with the lowest Aw is LiCl2 (Aw 0.12), while the highest is KNO3 (Aw 0.92). The greater Aw of a saturated salt solution, the greater its water content. The results obtained from the practicum of water in this foods system show the water content (db) in the biscuit sample is much greater than the water content in milk powder.

Keywords: activity water, saturated salt solution, water content, water sorption isotherms curve


PENDAHULUAN

          Air merupakan substansi yang paling penting dalam hidup. Substansi ini memiliki susunan spesifik secara kimiawi maupun fisika yang berbeda nyata dengan komponen lain ditijau dari struktur molekulnya. Karakteristik penting yang dimiliki oleh air di dalam produk susu mencakup kemampuannya sebagai pelarut dan plasticizer untuk komponen karbohidrat dan protein (Fox, 1993).
          Menurut Winarno (2002), air berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada dalam bahan makanan. Untuk beberapa bahan malah berfungsi sebagai pelarut. Air dapat melarutkan berbagai bahan seperti garam, vitamin, yang larut air, mineral, dan senyawa-senyawa cita rasa seperti yang terkandung dalah teh dan kopi. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita.
          Dalam  produk makanan, keradaan air dibedakan dalam tiga kategori, yaitu (1) air bebas, (2) air terikat dan (3) air terperangkap. Air bebas adalah air yang dapat diekstrak (diperas, atau diuapkan) dengan mudah dari bahan makanan, sedangkan air yang tidak dapat diekstrak dengan mudah disebut sebagai air terikat (Surono, 2016).
          Air dalam industri pangan memegang peranan penting karena dapat mempengaruhi mutu makanan yang dihasilkan. Jenis air yang digunakan berbeda-beda tergantung dari jenis bahan yang diolah, oleh karena itu perlu adanya suatu standar untuk masing-masing jenis pengolahan. Air yang digunakan pada industri umunya harus mempunyai syarat-syarat tidak berwarna, tidak berbau, jernih, tidak mempunyai rasa, tidak mengandung besi dan mangan, serta dpat diterima secara bakteriologis yaitu tidak mengganggu kesehatan dan tidak menyebabkan kebusukan bahan pangan yang diolah (Sudarmadji, 2003).
          Keberadaan air dalam makanan, yang dinyatakan sebagai angka aktivitas air (Water activity/Aw), merupakan rasio tekanan air dalam makanan dengan air murni pada suhu yang sama. Rasio 0,995 dan 0,980 cocok untuk pertumbuhan sebagian besar bakteri dan pembusukan biasanya berlangsung pada daging, buah dan sayuran (Arisman, 2009). Aw juga dapat dicari dengan rumus ERH/100.
          Kandungan air yang terpapar perubahan udara ambien terus-menerus sebagai respons terhadap kelembaban relatif (RH) udara. Semakin besar RH, semakin besar kadar air gandum. Perubahan terjadi secara relatif lambat, namun diberi waktu yang cukup, nilai baru kelembaban relatif dipertahankan dan nilai kadar air yang mendekati ekuilibrium tercapai. Karakteristik ekuilibrium ini (kadar air kesetimbangan yang mengacu pada butir dan ekuilibrium) sangat berguna karena dapat diterapkan dalam praktik untuk mengatur kadar air selama pengeringan dan penyimpanan (Greig dan Reeves, 1985). Relative humidity adalah kelembaban relatif yang merupakan persentase jumlah/kandungan uap air dalam satu volume tertentu terhadap total uap air pada saat jenuh dan Equilibrium Relative Humidity adalah kelembaban udara relatif dalam sebuah sampel.
          Menurut Dominguez dkk (2007) menyatakan bahwa stabilitas bahan pangan terutama ditentukan oleh karakteristik sorpsi air produk dan Isotermi Sorpsi Lembab (ISL) dapat digunakan untuk menjelaskan struktur dan perilaku air pada permukaan maupun bagian interior bahan pangan. Kurva ISL menggambarkan hubungan
antara aktivitas air (aw) dan kadar air seimbang pada bahan pangan (Diosady dkk., 1996). Data dalam kurva ISL dapat digunakan untuk memilih sistem pengemasan dan kondisi optimum atau maksimum yang dapat menahan perubahan aroma, flavor, warna dan tekstur. Lim dkk. (1995) dan Peng dkk. (2007) juga menyatakan bahwa data adsorpsi air juga dapat digunakan untuk menentukan kondisi penyimpanan yang tepat, mengevaluasi penyerapan air selama penyimpanan dan kecepatan kerusakan bahan makanan selama penyimpanan. Bahan makanan dengan kadar air yang berbeda, maka nilai Aw juga berbeda tergantung keberadaan air dalam bahan makanan. Kurva ISL dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan interaksi antara air dan substansi dalam bahan makanan (Diosady dkk., 1996).
          Bentuk kurva ISL khas untuk setiap produk pangan dan dikelompokkan menjadi tiga tipe yaitu tipe A, B dan C. Kurva ISL tipe A adalah bentuk kurva yang khas untuk bahan anti kempal. Bahan ini menyerap air pada sisi spesifik dengan
energi pengikatan yang tinggi dan mampu menahan sejumlah besar air pada Aw yang rendah. Tipe B adalah bentuk kurva yang paling banyak ditemui pada produk pangan. Bentuk kurva ini sigmoid disebabkan oleh kombinasi dari efek koligatif, kapiler dan interaksi antar-permukaan. Tipe C mewakili kurva sorpsi untuk bahan kristal seperti sukrosa (Labuza, 1984). Labuza (1984), membagi kurva ISL bahan pangan menjadi tiga wilayah. Wilayah I berada pada kisaran Aw 0,00-0,20 atau yang disebut daerah monolayer. Ikatan pada gugus ini lebih
bersifat ionik, sehingga ikatannya sangat kuat terhadap air. Kadar air monolayer menunjukkan jumlah air yang dapat terikat pada gugus kimia bahan makanan seperti pada karbohidrat, protein, mineral melalui ikatan hidrogen, ionik-dipol maupun antar kutub (dipol).

Gambar 1. Kurva ISL terdiri dari Wilayah I, II dan III
(Sumber: Duckworth, 1974)
          Menurut Fennema (1985), pada molekul air, energi ikatan hidrogen intermolekuler 2-40 kJ/mol, ikatan kovalen 335 kJ/mol. Semakin kuat ikatan, maka aktivitas air semakin kecil. Wilayah II pada Aw 0,30 sampai 0,60 merupakan lapisan air yang terletak diatas monolayer dan disebut air lapis ganda. Wilayah III dianggap sebagai air yang terkondensasi pada pori-pori bahan. Pada daerah ini sifat air menyerupai air bebas.
          Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis) (Taib, 1988).  Kadar air secara dry basis adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat keringnya. Bahan kering adalah berat bahan asal setelah dikurangi dengan berat airnya. Sedangkan kadar air secara wet basis adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat bahan mentah.
          Pengujian air dalam sistem pangan dan lemak dapat digunakan banyak hal, contohnya seperti pada degradasi enzimatis (misalnya pada buah dan sayutan segar serta beberapa pangan beku), reaksi kecoklatan non-enzimatis (misalnya pada biji-bijian kering, dan produk susu kering), dan reaksi oksidasi lemak (misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering, dan pangan beku).

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan
          Alat yang digunakan yaitu cawan alumunium, beaker glass, desikator, neraca analitik, dan oven.
          Bahan yang digunakan yaitu aquades, biskuit, LiCl2, KNO3, MgCl2.6H2O, NaCl, NaNO3, dan susu bubuk.

Pembuatan Larutan Garam Jenuh
          Dimasukkan garam ke dalam wadah yang sudah berisi air. Garam ditambahkan hingga tidak melarut lagi (larutan garam jenuh).

Prosedur
          Cawan alumunium dicuci dan dikeringkan kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 30 menit. Selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang cawan tersebut hingga beratnya konstan (selisih beratnya ± 0,002 gram).
          Sampel ditimbang sebanyak 1 gram (W0), dimasukkan ke dalam cawan yang sudah konstan tersebut (Wc+Wso) dan dimasukkan ke dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh, ditutup dan disimpan. Cawan ditimbang setiap hari selama 4 hari dan dilakukan hingga beratnya konstan. Kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 115oC selama 90 menit. Selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang cawan tersebut hingga beratnya konstan (selisih beratnya ± 0,002 gram). Diplotkan hasilnya dalam grafik.
          Persamaan untuk menentukan kadar air dalam bahan kering (db) adalah sebagai berikut:
         
Persamaan untuk menentukan kadar air dalam bahan basah (wb) adalah sebagai berikut:
Keterangan:
W3     = Berat air dalam sampel
W2     = Berat sampel setelah dikeringkan
Wsn  = Berat sampel pada hari ke-n

HASIL DAN PEMBAHASAN

          Praktikum air dalam sistem pangan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar air yang terkandung dalam suatu bahan pangan terhadap Aw garam jenuh. Larutan garam jenuh yang digunakan yaitu LiCl2, KNO3, MgCl2.6H2O, NaCl, dan NaNO3. Larutan garam jenuh digunakan untuk keseimbangan sorpsi kadar air isothermis (hubungan antara kadar air keseimbangan dari sampel dengan tekanan uap air atau kelembaban nisbi keseimbangannya pada suhu tertentu). Larutan garam jenuh juga dapat mempertahankan suatu kelembaban yang konstan selama jumlah garam yang ada masih di atas tingkat kejenuhan (Winarno, 2002).
          Menurut (Buckle, 1987) setiap larutan jenuh yang digunakan memiliki kelembaban relatif yang berbeda-beda. Kelembahan tersebut akan berpengaruh terhadap kadar air akhir pada sampel bahan. Apabila kelembaban tinggi maka penurunan berat sampel tidak akan terlalu besar, tetapi apabila kelembaban rendah maka penurunan berat sampel yang terjadi akan besar. Hal tersebut disebabkan karena sampel akan menyesuaikan kondisinya dengan lingkungan sekitar sehingga tercapai kesetimbangan.
          Setelah mendapatkan berat konstan, larutan jenuh tidak akan menyerap air dalam sampel lagi.  Setelah sampel dalam cawan dimasukan ke dalam desikator, desikator ditutup rapat kemudian disimpan. Perlakuan ini dilakukan supaya tidak ada uap air yang masuk dan keluar dari desikator ke udara atau sebaliknya. Penggunaan desikator dengan larutan garam jenuh di dalamnya bertujuan agar diperoleh ruangan dengan RH konstan (Humaidah, 2011).
          Praktikum penentuan kadar air ini menggunakan metode pengeringan dengan menggunakan oven. Pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air yang berada dalam biskuit. Digunakan suhu 1050C karena suhu tersebut diatas suhu penguapan air. Apabila terlalu besar maka akan memakan daya/energi listrik yang berlebih sehingga boros. Maka digunakan suhu 1050C karena suhu tersebut diatas suhu penguapan air dan pasa suhu tersebut merupakan suhu yang efektif.
          Sebelum cawan dimasukan biskuit, cawan harus terlebih dulu dipanaskan dalam oven. Pemanasan ini bertujuan untuk menguapkan air yang kemungkinan rnasih terdapat dalam cawan, sehingga air tidak dapat mempengaruhi berat sampel, karena sampel yang digunakan bersifat higroskopis, selain itu juga.pemanasan bertujuan untuk menghindari reaksi lain yang tidak diinginkan. Cawan alumunium yang telah dipanaskan kemudian dimasukkan kedalam desikator, hal ini bertujuan agar uap air yang berada pada cawan dapat terserap oleh desikan yaitu silika gel sehingga tidak mempengaruhi berat cawan saat penimbangan. Penimbangan cawan alumunium ini harus dilakukan hingga berat cawan konstan agar tidak mempengaruhi hasil kadar air pada tahap selanjutnya yaitu penimbangan sampel. Bila berubah-ubah maka akan mempengaruhi hasil akhir dan perhitungan sehingga akan dihasilkan data yang kurang valid.
Gambar 2. Grafik Hubungan Kadar Air (Wb) terhadap Waktu pada Sampel Biskuit
(Sumber: Data Pribadi, 2017)
          Kadar air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan bahan pangan terhadap serangan mikroorganisme yang dinyatakan dalam aktivitas air (aw) yaitu jumlah air bebas yang digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Air juga memiliki kemungkinan untuk menyebabkan kerusakan pada bahan pangan jika melebihi batas normal yang diperlukan pada bahan pangan, seperti pencoklatan, oksidasi dan hidrolisis, oleh karena itu aktivitas air (aw) dapat dijadikan parameter kerusakan pada bahan pangan dalam jangka waktu yang lama (deMan, 1997).
Gambar 3. Grafik Hubungan Kadar Air (Wb) terhadap Waktu pada Sampel Susu Bubuk
(Sumber: Data Pribadi, 2017)
          Syarat mutu susu bubuk menurut SNI 01-2970-2006 yaitu kadar air maksimum 5 % dan syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 yaitu kadar air maksimum 5 %. Kedua kadar air ini dapat dihitung menggunakan metode oven dengan cara mengeringkannya di dalam oven lalu ditimbang.
Dari hari ke hari pada kedua sampel terjadi penurunan bobot dikarenakan airnya terserap oleh larutan garam jenuh. Larutan garam jenuh ini menahan air yang akan keluar dari bahan pangan. Keadaan ini disebabkan karena adanya interaksi kation dan anion dari garam dengan air. Keadaan ini juga menyebabkan tekanan uap lingkungan sekitar desikator akan lebih rendah dibandingkan tekanan uap air murni (Wilarso, 1996).
 Bila pangan basah disimpan di lingkungan dengan kelembaban relatif yang rendah (kering), maka sebagian air dari pangan tersebut akan berangsur bermigrasi ke lingkungannya hingga kondisi kesetimbangan tercapai (Aw= ERH/100). Sebaliknya, bila pangan kering disimpan pada lingkungan dengan kelembaban relatif yang tinggi, maka pangan tersebut akan menyerap air hingga terbentuk kondisi kesetimbangan. Hal ini menjelaskan mengapa biskuit kering yang disimpan pada udara terbuka akan menyerap air yang diindikasikan dengan hilang kerenyahannya. Dalam kondisi kering, pangan kering akan memiliki nilai Aw yang lebih rendah dibandingkan ERH/100 lingkungan. Dengan kata lain, pada saat awal pangan kering berada di lingkungan terbuka, kondisi kesetimbangan belum terbentuk. Oleh karena itu, pangan tersebut akan berangsur-angsur menyerap air dari lingkungan hingga kondisi kesetimbangan dengan lingkungannya tercapai, yaitu pada saat aw pangan sama dengan ERH/100 (Kusnandar, 2010).
          Dari semua garam yang memiliki kadar air paling tinggi pada bahan yaitu garam KNO3 karena Awnya paling tinggi. Semakin tinggi Aw maka akan semakin tinggi pula kadar airnya.
Gambar 4.Grafik Hubungan Kadar Air (Wb) terhadap Aw pada Sampel Biskuit dan Susu Bubuk
(Sumber: Data Pribadi, 2017)
          Ada dua istilah yang dapat menggambarkan keberadaan air dalam bahan pangan yaitu water activity (Aw) dan kadar air. Aw merupakan nilai (0 sampai 1) yang menunjukkan jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroba. Semakin tinggi nilai Aw dari suatu bahan pangan, maka semakin mudah rusak bahan pangan tersebut, sebaliknya semakin rendah nilai Aw maka semakin awet pangan pangan tersebut. Kadar air merupakan jumlah total air yang terkandung dalam bahan pangan. Jumlah air tersebut mencakup air bebas dan air terikat yang ada dalam bahan pangan. Nilai kadar air yang besar belum tentu menunjukkan semakin mudah rusak karena ada kemungkinan air yang ada dalam bahan pangan tersebut berupa air terikat (Uddin dkk, 2006).
          Basis kering dilakukan karena pada perhitungannya basis kering membandingkan kehilangan berat dengan berat sampel setelah dikeringkan, sehingga cara ini dapat memperkecil kesalahan dalam mengukur kadar air. Selain itu juga agar kita dapat mengetahui pengaruh penggunaan larutan garam-garam jenuh terhadap berat sampel yang telah dikeringkan. Di dalam analisis bahan pangan, biasanya kadar air bahan dinyatakan dalam persen berat kering. Hal ini disebabkan karena berat basah mempunyai kelemahan yaitu bahan selalu berubah-ubah setiap saat, sedangkan pada berat bahan kering selalu tetap.
          Hasil yang didapat dari pengamatan menunjukan kadar air (db) dalam sampel biskuit jauh lebih besar dibandingkan kadar air pada susu bubuk. Hal ini disebabkan berat biskut setelah dikeringkan lebih kecil dari berat susu sementara nilai basis kering pada biskuit lebih besar daripada nilai basis kering pada susu bubuk. Selain itu berdasarkan grafik, pada zona III, air bebas yang terkandung dalam biskuit lebih banyak dibandingkan pada susu bubuk.

KESIMPULAN

          Dari hari ke hari pada kedua sampel terjadi penurunan bobot dikarenakan airnya terserap oleh larutan garam jenuh. Larutan garam jenuh dengan Aw terendah adalah LiCl2, sedangkan yang tertinggi adalah KNO3. Semakin besar Aw suatu larutan garam jenuh, maka semakin besar kadar airnya. Hasil yang didapat dari praktikum air dalm sistem bahan pangan ini menunjukan kadar air (db) dalam sampel biskuit jauh lebih besar dibandingkan kadar air pada susu bubuk.

DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2009. Keracunan Makanan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Buckle, K. A., dkk. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Diosady, L.L., Rizvi, S.S.H., Cai, W. dan Jagdeo, D.J. 1996. Moisture sorption isotherms of canola meals, and applications to packaging. Journal of Food Science 61: 204-208.
deMan, John. M.1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB, Bandung.
Dominguez, I.L., dkk. 2007. Thermodynamic Analysis Of The Effect Of Water Activity On The Stability Of Macadamia Nut. Journal of Food Engineering 81: 566-571.
Duckworth, R. B. 1974. Water Relationships of Food. IFST (UK) Mini Symp, United Kingdom.
Fennema, O.R. 1985. Principles of Food Science. Marcell Dekker Inc. New York.
Fox, E.L. 1993. The Physiological Basic of Exercise and Sport (5th ed). Wim. C. Brown Publisher, USA.
Greig, D. J. dan M. Revees. 1985. Prevention of Post Harvest Food Losses: A Training Manual. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.
Humaidah, Siti. 2011. Potensi Desikator Untuk Inkubasi Anaerob. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Kusnandar, Feri. 2010. Memahami Aktivitas Air dan Hubungannya dengan Keawetan Pangan. Departemen Ilmu Teknologi Pangan IPB, Bogor.
Labuza, T.P. (1984). Moisture Sorption : Practical Aspect of Isotherm Measurement and Use. American Association of Cereal Chemists, St. Paul, Minnesota.
Lim, L.T., Tang, J. dan He, J. 1995. Moisture Sorption Characteristics of Freeze Dried Blueberries. Journal of Food Science 60: 820-825.
Peng, G., Chen, X., Wu, W. dan Jiang, X. 2007. Modeling Of Water Sorption Isotherm For Corn Starch. Journal of Food Engineering 80: 562-567
Sudarmadji, S. 2003. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.
Surono, dkk. 2016. Pengantar Keamanan Pangan untuk Industri Pangan. Deepublish, Yogyakarta.
Taib, Gunarif. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Uddin MZ, Rahim MA, Alam MA, Barman JC. dan Wadud MA. 2006. A Study On Bio-Chemical Characteristics Of Different Mango Germplasms Grown In The Climatic Condition Of Mymensingh. Int. J. Sustain. Crop Prod. 1(2): 16-19.
Wilarso, D. 1996. Peningkatan Kadar NaCl pada Proses Pencucian Garam Rakyat di Pabrik. Buletin Penelitian dan Pengembangan Industri No.21.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

PDFnya disini
Kalau linknya bermasalah bisa komen di bawah atau kontak aku di ig ya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.