Pasca Mortem Daging Ikan



ABSTRACT

          Fish is a perishable food, after the fish die there are various chemical, biochemical and physical changes during post-mortem. This process has divided by 3 phase: pre rigor, rigor mortis and post rigor. The purpose of this experiment is to know post mortem in fish after death and any changes that occur. Based on the results of post mortem experiment on fish, obtained after fish results dead changes that occur is the decrease of pH in pre rigor phase and increase of pH in rigor mortis phase, temperature rise, changes in the texture of the fish from elastic to hard and water holding capacity decreases.
Keywords: fish, pre rigor, rigor mortis, texture, water holding capacity

PENDAHULUAN
         
          Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi dan dapatdicerna dengan mudah oleh manusia. Pada umumnya ikan mempunyai kandungan kolesterol rendah dan asam lemak berantai ganda dengan jumlah yang besar. Komposisi kimia ikan tergantung dari spesies ikan, umur, habitat, dan pakannya. Kandungan gizi yang tinggi pada ikan membuat ikan mudah rusak (perishable food), oleh karena itu perlu diketahui penganan yang tepat setelah ikan mati dan juga cara penyimpanannya.
          Indikator mutu atau kesegaran ikan dapat ditentukan dengan mengukur degradasi ATP (adenosine trifosfat) dengan perhitungan nilai-K. Bersamaan dengan nilaiK, penurunan kesegaran ikan juga dapat diukur dengan uji organoleptik dengan menggunakan panelis terlatih  (Widiastuti dan Putro, 2010). Ikan setelah mati mengalami berhentinya sirkulasi darah akan menyebabkan terhentinya fungsi darah sebagai pembawa oksigen, sehingga respirasi terhenti dan berlangsung proses glikolisis anaerob. Proses ini dibagi menjadi 3 phase, yaitu : fase pre rigor, rigormortis dan post rigor (Forrest dkk, 1975).
          Setelah kematian hewan atau ikan terjadi berbagai reaksi kimia, biokimia dan perubahan fisik selama pasca-mortem. Perubahan-perubahan tersebut penting karena berpengaruh pada tingkat kualitas produk daging dan ikan. Selama pasca-mortem terjadi beberapa perubahan yang bersifat dinamis dan terlibat dalam proses konversi otot menjadi daging atau daging ikan yang dapat dimakan (Eskin, 1990). Berbagai reaksi biokimia dan fisikokimia terjadi dengan cepat setelah hewan atau ikan tersebut disembelih hingga dikonsumsi sebagai daging atau ikan yang dapat dimakan.
          Menurut Buckle (1985), setelah ikan mati dan mengalami fase pasca mortem, penyediaan oksigen ke otot terhenti sebagai akibat berhentinya kerja jantung dan aliran darah. Hal ini mengakibatkan persediaan glikogen metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi di otot. Jadi otot yang hidup tersebut mengalami perubahan besar akibat kematian.
          Perubahan yang terjadi pasca mortem daging ikan diantara lain perybahan pH, suhu, tekstur, warna serta WHCnya. WHC diartikan sebagai kemampuan daging untuk menahan air selama aplikasi kekuatan eksternal (seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, atau tekanan). Besar kecilnya WHC dapat memengaruhi warna (color), tekstur (texture), kekenyalan (firmness), kesan jus (juiceness), dan keempukan (tenderness). Kapasitas mengikat air jaringan otot mempunyai efek langsung pada pengkerutan dari daging selama penyimpanan (Forrest dkk, 1975).         
          Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui pasca mortem pada ikan setelah kematian dan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan
          Alat yang digunakan yaitu inkubator, mortar dan alu, pH meter, pisau, sentrifugasi, stopwatch, talenan, tabung sentrifugasi dan termometer.     
          Bahan yang digunakan yaitu air desilata, akuades dan ikan.

Pengaruh pH
          Diambil 5 gram daging ikan dan ditambahkan 5 mL air desilata, dicampurkan dengan menggunakan mortar dan alu. pH air tersebut diukur setiap 10 menit selama 1 jam.

Pengaruh Tekstur
          Ikan yang masih hidup dibunuh telebih dahulu dan ditekan dengan ibu jari untuk dirasakan tekstur/kekerasannya setiap 30 menit selama 1 jam.

Pengaruh Suhu
          Ikan yang masih hidup dibunuh telebih dahulu. Daging ikan ditusuk menggunakan termometer untuk diukur suhunya setiap 10 menit selama 1 jam.

Water Holding Capacity (WHC)
          Ikan dicacah dan ditimbang 10 gram kemudian dimasukkan ke dalm tabung sentrifugasi dan ditambhakan 10 mL akuades. Tabung sentrifugasi dikocok, kemuadian ditutup dan diinkubasi semalaman pada suhu 0oC. Tabung tadi disentrifugasi pada kecepatan 30 rpm selama 20 menit, dipisahkan cairan dan diukur volumenya. Volume tabung diukur setiap 60 menit selama 2 jam. WHC pada ikan dapat dihitung dengan cara:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pH
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengaruh pH
Kel
pH
10’
20’
30’
40’
50’
60’
1
6.89
7.16
7.00
7.26
6.80
7.55
6
6.35
7.64
7.39
7.45
6.56
7.03
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
          Menurut Eskin (1990), terjadi hubungan langsung antara nilai pH yang menurun dan produksi asam laktat. Perubahan pH sesudah ikan mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, yang selanjutnya ditentukan oleh kandungan glikogen, dan penanganan sebelum penyembelihan. Namun hasil praktikum yang didapat pH ikan naik turun dan tidak stabil perubahan setiap menitnya.
          Kandungan glikogen yang tinggi dapat memperlambat proses glikolisis pada daging ikan sehingga dapat menunda datangnya proses rigor mortis. Pada fase rigor mortis, nilai pH daging ikan akan mengalami penurun menjadi 6,2-6,6 dari pH mulamula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO dan basa-basa menguap. Nilai pH daging ikan akan terus naik mendekati netral setelah fase rigor mortis berakhir (Erlangga, 2009). Oleh karena itu pH daging ikan naik kembali pada menit ke 60 karena sudah memasuki fase rigor mortis.

Pengaruh Tekstur
Tabel 2. Hasil Pengamatan Perubahan Tekstur
Kel
t
Tekstur
Lendir
3
0’
Kenyal ++++
Lendir ++
30’
Kenyal +++
Lendir +
60’
Kenyal +
Tidak Berlendir
8
0’
Kenyal ++++++
Lendir ++
30’
Kenyal +++++
Lendir +
60’
Kenyal +++
Tidak Berlendir
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
          Perubahan pre rigor pada ikan terjadi secara bersamaan untuk semua kombinasi perlakuan setelah ikan mati. Perubahan pre-rigor ini ditandai dengan terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Sedangkan perubahan rigor mortis pada ikan nila ditandai dengan kekakuan otot ikan yang diawali dari pangkal ekor hingga mencapai fullrigor. Kekakuan otot ini  dikarenakan adanya kontraksi-relaksasi antara aktin dan myosin yang membentuk aktomiosin (Eskin, 1990). Berdasarkan hasil pengamatan ikan mengalami fase pre rigor ini hingga menit ke 30 karena ikan masih memproduksi lendir dan pada menit ke 60 ikan sudah tidak berlendir yang artinya ikan ini sudah masuk pada tahap rigor mortis ditandai dengan mengerasnya daging ikan.
          Menurut Ilyas (1983), pada ikan yang masih hidup, terdapat jutaan bakteri yang terpusat pada tiga tempat yaitu pada selaput lendir permukaan tubuh ikan, insang, dan isi perut. Secara alamiah, tubuh ikan yang masih hidup memiliki barrier (pertahanan) terhadap serangan bakteri, sehingga bakteri dari ketiga tempat tersebut di atas tidak mampu menyebar ke seluruh bagian tubuh ikan. Setelah ikan mati, terjadilah kemunduran mutu pada ikan secara bakteriologis bersamaan dengan terjadinya kemunduran mutu secara autolisis. Bakteri dapat mendobrak barrier (pertahanan) tubuh ikan sehingga bakteri dapat menyerang ke seluruh bagian tubuh ikan. Mulai terjadinya pembusukan pada ikan yang ditandai dengan warna insang kelabu (pucat) dan lendirnya agak tebal, lapisan lendir permukaan badan ikan keruh menggumpal, serta tekstur daging lunak atau tidak kenyal. Hasil praktikum menunjukkan kekenyalan daging ikan semakin lama semakin menurun setelah ikan mati.
          Menurut Tjahjadi (2011), sebelum ikan mengalami kematian, otot bersifat lentur dan lunak karena kadar glikogen dan ATP cukup, namun kemudian daging menjadi lebih keras karena otot berkontraksi saat masuk fase rigor mortis. Hal ini berkaitan dengan turunnya kandungan glikogen dan hilangnya ATP dari otot ikan yang baru dimatikan. Ikan mati yang disimpan pada suhu ruang akan mudah terserang mikroorganisme pembusuk, karena kandungan air terikat pada ikan cukup banyak. Lama kelamaan ikan mati tersebut dapat mengalami pembusukkan. Ketika menit ke 60 terasa daging ikan mulai mengeras dan saat ditekan tidak membal atau balik lagi keadaan semula (tidak kenyal).

Pengaruh Suhu
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pengaruh Suhu
Kel
Suhu (oC)
0’
10’
20’
30’
40’
50’
60’
2
26.0
23.0
23.1
23.2
23.3
23.6
23.7
7
23.0
23.5
23.6
23.8
23.9
24.1
24.3
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
          Suhu permukaan ikan mulai menurun dari suhu darah ke suhu di sekitarnya atau di bawahnya, tergantung cara penanganan setelah ikan tersebut mati. Walau demikian, suhu jaringan yang ada di dalam mungkin naik sebesar 1°-2°C tergantung ukuran ikan sebagai akibat proses glikolisis setelah kematian dimana glikogen diubah menjadi asam laktat. Perubahan dan jumlah panas yang dihasilkan ditentukan oleh tingkat jumlah glikogen yang dihasilkan saat ikan tersebut mati (Buckle, 1985). Oleh karena itu suhu ikan naik secara bertahap karena proses glikosis yang terjadi. Penurunan suhu pada menit ke 10 pada kelompok 2 kemungkinan salah mengukur suhunya karena pada kelompok 7 suhu ikan berangsur-angsur naik secara bertahap.

Water Holding Capacity (WHC)
Tabel 4. Hasil Pengukuran WHC (Water Holding Capacity)
Sampel
Kel
Waktu (t)
Volume Air (mL)
Berat (g)
%WHC
Awal
Akhir
Daging ikan (Suhu Ruang)
4
60’
10.0
10.3
10
-3%
5
10.0
10.5
10
-5%
10
120’
10.0
11.0
10
-10%
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Nilai WHC yang minus disebabkan karena kemampuan mengikat air sudah menghilang. Rendahnya daya ikat air disebabkan oleh makin banyaknya asam laktat yang terakumulasi akibatnya banyak protein miofibriler yang rusak, sehingga diikuti dengan kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air. Perubahan daya ikat air daging selama penyimpanan diduga karena terjadinya perubahan ion-ion yang diikat oleh protein daging (Tranggono, dkk, 1956).
          WHC menurun ditandai dengan bertambahnya volume larutan setelah mengalami sentrifugasi. pH otot pasca rigor akan menurun pada saat pembentukan asam laktat dan akan menurunkan WHC, hal ini menyebabkan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot yang bebas meninggalkan serabut otot (Aberle, dkk, 2001). Menurut Soeparno (1992), demikian pula suhu yang tinggi akan mempercepat penurunan pH otot, dan akan meningkatkan penurunan WHC sebagai akibat dari meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraselular.

KESIMPULAN
         
          Berdasarkan hasil praktikum pasca mortem pada ikan didapatkan hasil setelah ikan mati perubahan-perubahan yang terjadi adalah penurunan pH pada fase pre rigor dan kenaikan pH pada fase rigor mortis, kenaikan suhu, perubahan tekstur ikan dari kenyal menjadi keras dan daya ikatnya terhadap air (water holding capacity) semakin lama semakin menurun. 

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E.D, J.C. Forrest, D.E. Gerrard, dan E.W. Mills. 2001. Principles of Meat Science. 4th Ed. Kendall/Hunt Publishing Company, Lowa.
Buckle, K.A. 1985. Ilmu Pangan. UI Press, Jakarta.
Eskin, Michael N.A. 1990. Biochemistry of Foods. Academic Press Inc, California.
Erlangga. 2009. Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) pada Penyimpanan Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan,Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Forrest , G.J., Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Company, San Francisco
Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I. Penerbit Gramedia, Jakarta.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tjahjadi, C. 2011. Pengantar Teknologi Pangan Volume 1. Universitas Padjadjaran, Bandung.
Tranggono, dkk. 1956. Biokimia Pangan. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Widiastuti, Indah dan Putro. 2010. Analisis Mutu Ikan Tuna Selama Lepas Tangkap. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan-KKP, Palembang.

PDFnya disini
Kalau linknya bermasalah bisa komen di bawah atau kontak aku di ig ya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.