Titrasi Iodometri



ABSTRACT

          Titration is a technique where a solution of known concentration is used to determine the concentration of an unknown solution. Redox titration is a titration involving oxidation and reduction processes. Iodometry is an indirect analytical process involving iod. Excess iodine ions are added to an oxidizing agent to liberate the iod, which is then titrated with sodium thiosulfate. The purpose of this practice to known the content of Cu in the sample. The result of iodometric redox titration practice obtained the normality of Na2S2O3 is 0.0981 N and Cu content of 25.39% while the amount of Cu theoretical equal to 25.45% that means content of Cu can be determinated by iodometric titration.
Keywords: iodometry, natrium thiosulfate, oxidation, redox, reduction 

PENDAHULUAN

Titrasi redoks adalah titrasi yang melibatkan proses oksidasi dan reduksi (Cairns, 2004). Reaksi-reaksi kimia yang melibatkan oksidasi-reduksi dipergunakan secara luas dalam analisa titrimetrik. Ion-ion dari berbagai unsur dapat hadir dalam kondisi oksidasi yang berbeda-beda, menghasilkan kemungkinan terjadi banyak reaksi redoks. Banyak dari reaksi-reaksi ini memenuhi syarat untuk digunakan dalam analisa titrimetrik, dan penerapan-penerapannya cukup banyak (Day dan Underwood, 1998).
Oksidator adalah senyawa di mana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri) (Khopkar, 2003).
Terdapat dua cara melakukan analisis dengan menggunakan senyawa pereduksi iodium yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cara langsung disebut iodimetri (digunakan larutan iodium untuk mengoksidasi reduktor-reduktor yang dapat dioksidasi secara kuantitatif pada titik ekivalennya) (Bassett,1994).
Larutan I2  digunakan untuk mengoksidasi reduktor  secara kuantitatif pada titik ekuivalennya. Namun, cara pertama ini jarang diterapkan karena I2 merupakan oksidator lemah, dan adanya oksidator kuat akan memberikan reaksi samping dengan reduktor. Adanya reaksi samping ini mengakibatkan penyimangan hasil penetapan (Mulyono, 2011).
Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan dengan larutan natrium tiosulfat. Iodometri adalah suatu proses analitis tak langsung yang melibatkan iod. Ion iodida berlebih ditambahkan pada suatu zat pengoksidasi sehingga membebaskan iod, yang kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat (Day dan Underwood, 1998).
Biasanya indikator yang digunakan adalah kanji/amilum. Iodide pada konsentrasi < 10-5 M dapat dengan mudah ditekan oleh amilum. Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir titrasi. Dengan formamida penyerangan kanji oleh mikroorganisme paling sedikit (Khopkar, 2003).
Larutan natrium tiosulfat dapat distandarisasi menggunakan kalium dikromat. Kalium dikromat adalah sebuah agen pengoksidasi yang cukup kuat dengan potensial standar sebesar +1,33 V. Keuntungannya adalah harganya tidak mahal, amat stabil dalam larutan, dan tersedia dalam bentuk yang cukup murni untuk digunakan membuat larutan-larutan standar melalui penimbangan langsung. Larutan dikromat dipergunakan dalam larutan permanganat atau serium (IV) dalam prosedur analitis karena larutan-larutan ini tidak sekuat agen pengoksidasi lainnya dan karena lambat reaksi mereka. Warna ini cukup intens untuk oleh dideteksi bahkan ditengan kehadiran ion kromium (III) hijau yang dihasilkan oleh reduksi dikromat selama titrasi. Tembaga murni dipergunakan sebagai standar primer untuk Natrium tiosulfat dan disarankan untuk dipakai ketika tiosulfatnya akan dipergunakan untuk menentukan tembaga (Day dan Underwood, 1998).
Tujuan dari praktikum titrasi iodometri ini untuk menentukan normalitas Na2S2O3 dan menentukan kadar Cu dalam terusi.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan
          Alat yang digunakan yaitu bulb, beaker glass, botol gelap, buret 50 mL, buret 100 mL, corong, erlenmeyer 100 mL, labu ukur 250 mL, pipet tetes, pipet ukur dan pipet volumetri 10 mL.
          Bahan yang digunakan yaitu akuades, amililum 1%, CuSO4.5H2O (terusi), H2SO4 6N, KI 20%, dan Na2S2O3.

Standarisasi Na2S2O3 terhadap K2Cr2O7 0,1 N
          K2Cr2O7  0,1 N dipipet 10 mL dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL, kemudian KI 20% ditambahkan sebanyak 8 mL dan 10 mL H2SO4 6 N. Larutan tadi dititrasi dengan Na2S2O3 sampai warna kuning kehijauan dan ditambahkan 0,5 mL indikator amilum 1%. Titrasi dilanjutkan dengan Na2S2O3 sampai warna hijau muda, dicatat volume Na2S2O3 dan dihitung normalitas Na2S2O3 dengan cara:

Penentuan Kadar Cu dalam terusi
          Dipipet 10 mL larutan Cu dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL, kemudian KI 20% ditambahkan sebanyak 8 mL dan 10 mL H2SO4 6 N. Larutan tadi dititrasi dengan Na2S2O3 sampai warna kuning jerami dan ditambahkan 0,5 mL indikator amilum 1%. Titrasi dilanjutkan dengan Na2S2O3 sampai warna putih susu, dicatat volume Na2S2O3 dan dihitung  kadar Cu dengan cara:
BE Cu  = 63.55

HASIL DAN PEMBAHASAN

Standarisasi Na2S2O3 terhadap K2Cr2O7 0,1 N
Tabel 1. Hasil Pengamatan Standarisasi Na2S2O3 terhadap K2Cr2O7 0,1 N
Kel.
Volume Na2S2O3 (mL)
N Na2S2O3
1
10.0
0.1000
2
10.4
0.0962
Rata-rata
0.0981
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Larutan standar yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri adalah natrium thiosulfat. Garam ini biasanya berbentuk sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi dengan standar primer. Larutan natrium thiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama (Day dan Underwood, 1998).
          Reaksi yang terjadi dalam penetapan ini adalah:
K2Cr2O7 + 6KI + 14HCl → 3KCl + 2CrCl3 + 3I2 + 7H2O
3I2 + 6Na2S2O3 → 6NaI + 3Na2S4O6
(Rattenbury, 2016)
          K2Cr2O7 merupakan oksidator sehingga dapat mengoksidasi I- menjadi I2. I2 yang terbebas ini kemudian dititrasi oleh Na2S2O3 hingga bewarna hijau, sehingga dapat diketahui jumlah I2 yang terbebas oleh K2Cr2O7 sehingga dapat dihitung normalitas Na2S2O3.
                   Penetapan ini dilakukan dengan suasana asam karena reaksi yang terjadi secara ionik sebagai berikut:
6I- + 14H+ + Cr2O72- → 3I2 + 2Cr3+ + 7H2O
(Rattenbury, 2016)
Sehingga dibutuhkan asam untuk terjadinya reaksi oleh karena itu ditambahkan H2SO4 6 N ke dalam larutan agar terjadinya reaksi, sedangkan KI ditambahkan untuk membebaskan I2. Ion iodida berlebih ditambahkan pada suatu zat pengoksidasi sehingga membebaskan iod, yang kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat (Day dan Underwood, 1998).
Pengamatan titik akhir titrasi akan lebih mudah dengan penambahan larutan kanji sebagai indikator, karena amilum akan membentuk kompleks dengan I2 yang berwarna biru sangat jelas. Penambahan amilum harus pada saat mendekati titik akhir titrasi. Hal ini dilakukan agar amilum tidak membungkus I2 yang menyebabkan sukar lepas kembali, dan ini akan menyebabkan warna biru sukar hilang, sehingga titik akhir titrasi tidak terlihat tajam. Kompleks iodium-amilum memiliki kelarutan yang kecil dalam air, sehingga umumnya ditambahkan pada titik akhir titrasi. Penambahan kanji dilakukan saat mendekati titik akhir, yaitu pada saat warna larutan sudah sangat muda yang menunjukkan konsentrasi iod yang sangat rendah. Amilum (kanji) bereaksi dengan iod (I2) membentuk suatu kompleks yang berwarna biru kuat (biru kehitaman).
I2 + amilum → I2-amilum
I2-amilum + 2S2O32- → 2I- + amilum + S4O6-
Kepekaan reaksi warna ini akan terlihat bila konsentrasi iod adalah 2×10-5 M dan konsentrasi iodida (I) lebih besar daripada 4×10-4 M pada 20°C . Titrasi dilanjutkan kembali hingga warna biru hilang. Apabila penambahan kanji dilakukan terlalu cepat, misalnya saat larutan belum berwarna sangat muda atau pada awal penitaran, maka I2 akan terbungkus (teradsorbsi) oleh kanji yang sukar lepas kembali. Pada setiap penambahan 1 tetes tio, larutan dikocok hingga diperoleh titik akhir. Proses pengocokan ini ialah untuk melepaskan I2 yang kemudian dititar dengan tio (Wunas, 1986).

Penentuan Kadar Cu dalam terusi
Tabel 2. Hasil Pengamatan Penentuan Kadar Cu
Kel.
Volume Na2S2O3 (mL)
Kadar Cu (%)
3
10.2
25.48
4
10.1
25.23
5
10.3
25.73
6
10.1
25.23
7
10.3
25.73
8
10.1
25.23
9
10.2
25.48
10
10.0
24.98
11
10.2
25.48
Rata-rata
25.39
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
          Reaksi yang terjadi dalam penetapan ini adalah:
2CuSO4 + 2KI  → 2CuI2 + 2K2SO4
2CuI2 → 2Cu2I2 + I2
I2 + Na2S2O3 → 2NaI + Na2S4O6
(Dash, 2017)
          Cu merupakan oksidator sehingga dapat mengoksidasi I- menjadi I2. I2 yang terbebas ini kemudian dititrasi oleh Na2S2O3 bewarna putih susu (Cu2I2), sehingga dapat diketahui jumlah I2 yang terbebas oleh Cu sehingga kadar Cu dapat diketahui. Banyaknya volume Na2S2O3  yang digunakan sebagai titran setara dengan banyaknya sampel Titrasi iodometri termasuk jenis titrasi tidak langsung yang  dapat digunakan untuk menetapkan senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih besar dari pada sistem iodium iodide atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator seperti CuSO4.5H2O (Asip, dkk 2013)
          Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil kadar Cu sebesar 25.39%, sedangkan kadar teoritisnya sebesar 25.45%. Hasilnya cukup dekat, hasilnya tidak pas karena mungkin ada sedikit kesalahan-kesalahan kecil. Menurut Sukarti (2008), sumber kesalahan titrasi dalam titrasi iodometri diantaranya:
1. Kesalahan oksigen karena oksigen diudara dapat mengoksidasi ion iodida menjadi I2.
2. Pemberian amilum terlalu awal.
3. pH terlalu tinggi sehingga I2 yang terbentuk bereaksi dengan air (hidrolisis) yang menyebabkan penggunaan Na2S2O3 lebih rendah dari yang seharusnya.
          Warna kuning jerami sebelum penambahan amilum masih terlalu tua dibandingkan yang seharusnya, karena penambahan amilum seharusnya pada saat warna larutan sudah sangat muda yang menunjukkan konsentrasi iod yang sangat rendah, hal ini dibuktikan dengan masih lamanya larutan menuju titik akhir saat setelah ditambahkan larutan amilum. Apabila penambahan kanji dilakukan terlalu cepat, misalnya saat larutan belum berwarna sangat muda atau pada awal penitaran, maka I2 akan terbungkus (teradsorbsi) oleh kanji yang sukar lepas kembali (Wunas, 1986).

KESIMPULAN
          Hasil praktikum titrasi redoks iodometri didapatkan normalitas Na2S2O3 sebesar 0,0981 N dan kadar Cu sebesar 25.39% sedangkan kadar Cu teoritisnya sebesar 25.45% artinya penentuan kadar Cu menggunakan metode titrasi iodometri dapat dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Asip, Faisol, dan T. Okta. 2013. Adsorbsi H2S pada Gas Alam menggunakan Membran Keramik dengan Metode Titrasi Iodometri. Jurnal Teknik Kimia Vol.4. No.19.
Bassett, J. 1994. Buku Ajaran Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Edisi Keempat. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Cairns, Donald. 2004. Intisari Kimia Farmasi Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Dash, D. C. 2017. Analytical Chemistry 2nd Edition. PHI Learning Private Limited, Delhi.
Day, R. A dan A. L. Underwood. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta.
Khopkar, S. M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerbit UI Press, Jakarta.
Mulyono. 2011. Membuat Reagen Kimia. Bumi Aksara, Jakarta.
Rattenbury, E. M. 2016. Introductory Titrimetric an d Gravimetric Analysis. Pergamon Press, London.
Sukarti, T. 2008. Kimia Analitik. Widya Padjadjaran, Bandung.
Wunas, J. 1986. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif. UNHAS, Makassar.

PDFnya disini
Kalau linknya bermasalah bisa komen di bawah atau kontak aku di ig ya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.