Bahan Tambahan Pangan atau Bahan Tambahan Makanan
ABSTRACT
Food additives are
ingredients added and mixed during food processing to improve quality,
including dyes, flavoring, eating, antioxidants, preservatives, emulsifiers,
anti-clumps and thickeners. The purpose of this experiment is to identify the textile dyes, formaldehyde and borax contained in the sample. Based on the results
obtained practice for stick and sauce containing textile dyes. Meat balls +
borax and positive market nugget contains borax as well as yellow noodles,
salted fish and a positive form containing formalin.
Keywords: dyes, emulsifier, food additives, preservatives
PENDAHULUAN
Makanan adalah segala sesuatu yang kita makan atau minum
untuk menunjang proses kehidupan dan pertumbuhan dalam kondisi yang normal
(Hughes, 1987). Oleh karena itu, makanan yang optimal akan berkontribusi
optimal pula bagi kesehatan. Pemakaian bahan tambahan pangan yang aman
merupakan pertimbangan yang penting. Jumlah bahan tambahan pangan yang
diizinkan untuk digunakan dalam pangan harus merupakan kebutuhan minimum dari
pengaruh yang dikehendaki (Baliwati, dkk, 2004).
Keamanan pangan diartikan
sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu
dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan
peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat
(Saparinto dan Hidayati, 2006).
Pada umumnya dalam
pengelolaan makanan selalu diusahakan untuk menghasilkan produk makanan yang
disukai dan berkualitas baik. Makanan yang tersaji harus tersedia dalam bentuk
dan aroma yang lebih menarik, rasa enak, warna dan konsistensinya baik serta
awet. Untuk mendapatkan makanan seperti yang
diinginkan maka sering pada proses pembuatannya dilakukan penambahan
“Bahan Tambahan Pangan (BTP)” yang disebut zat aktif kimia (food additive)
(Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Pengertian Bahan Tambahan
Pangan (BTP) dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88
No.1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan,
mempuyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke
dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan,
pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, penyimpanan atau
pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung
atau tidak langsung) suatu komponan yang mempengaruhi sifat khas makanan.
Menurut Cahyadi (2006)
tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau
mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih
mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan
tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu sebagai berikut:
1.
Bahan tambahan pangan yang
ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan
tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahakan kesegaran, cita rasa dan
membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, pemanis.
2.
Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja
ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut,
terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak
akibat perlakuan selama produksi, pengolahan, pengemasan. Contoh residu
pestisida, antibiotik,
dan hidrokarbon aromatik polisiklis.
Bahan tambahan makanan
merupakan bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pegolahan makanan
untuk meningkatkan mutu, antara lain pewarna, penyedap rasa dan aroma,
pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, anti gumpal, pemucat dan pengental
(Winarno, 1992). Penggunaan bahan tambahan pangan dapat meningkatkan atau
mempertahankan kualitas daya simpan, sehingga penggunaan bahan tambahan pangan
masih tinggi. Namun pada beberapa jenis makanan penambahan bahan tambahan
makanan tidak digunakan secara benar yang berisiko membahayakan konsumen,
seperti penggunaan bahan yang dilarang seperti pewarna tekstil, formalin, dan
boraks.
Bahan Tambahan Pangan yang
tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam makanan menurut Permenkes RI
No.1168/Menkes/Per/X/1999 :
1.
Natrium tetraborat (boraks)
2.
Formalin (formaldehyd)
3.
Minyak nabati yang
dibrominasi (brominated vegetable oils)
4.
Kloramfenikol (chloramphenicol)
5.
Kalium klorat (potassium
chlorate)
6.
Dietilpirokarbonat (diethylepirokarbonate
DEPC)
7.
Nitrofurazon (nitrofurazone)
8.
P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide,
dulcin, 4-ethoxyphenyl urea)
9.
Asam salisilat dan garamnya
(salicylic acid and its salt)
10.
Rhodamin B (pewarna merah)
11.
Methanil yellow (pewarna kuning)
12.
Dulsin (pemanis sintesis)
13.
Potasium bromat (pengeras).
Tujuan dilakukannya
praktikum ini adalah untuk mengidentifikasi pewarna tekstil, formalin dan
boraks yang terkandung di dalam sampel.
BAHAN
DAN METODE
Alat dan
Bahan
Alat yang digunakan antara lain alat destilasi, cawan
porselen, chamber, desikator, mortar dan alu, penangas air, pipet tetes,
rak tabung reaksi, tabung reaksi dan tanur.
Bahan yang digunakan antara lain akuades, agar-agar, agar stick, asam
fosfat 10%, asam kromatopat 0.5%, asam sulfat 60%, baso (pasar), baso (vigo),
baso+boraks, H2SO4 pekat, ikan asin, kertas, metanol, mi
kuning, nugget (bellfoods), nugget (pasar), saring, saos,
dan tahu kuning.
Identifikasi Pewarna Tekstil
Sampel dihaluskan dengan mortar
dan alu dan ditimbang sebanyak 5 gram setelah itu ditambahkan 5 mL akuades.
Dipipet filtrat dan diteteskan di kertas saring yang selanjutnya dimasukkan ke
dalam chamber yang berisi air dan diamati.
Identifikasi Boraks
Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselen
dan dimasukkan ke dalam tanur 600oC selama 2 jam. Setelah itu
didinginkan dalam desikator selama 1 jam dan ditetesi 8 tetes H2SO4
pekat, metanol 1 mL dan dibakar. Diamati hasil api yang terbentuk, jika hijau
artinya boraks dalam sampel positif.
Identifikasi Formalin
Sampel ditimbang 20-30 gram dan dihaluskan dan ditambahkan 50 mL akuades
juga 5 mL asam fosfat 10%. Dirangkai alat destilasi hingga 100 mL dan diambil 2
mL destilat. Larutan tadi ditambahkan 5 mL asam kromatopat dalam asam sulfat
60% dan dipanaskan pada penangas air. Bila hasilnya positif larutan bewarna
ungu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Pewarna Tekstil
Tabel 1. Hasil Pengamatan
Identifikasi Pewarna Tekstil
Sampel |
Pewarna
Tekstil (+/-) |
Ekstrak Bit |
(-) |
Agar-agar |
(-) |
Saos |
(+) |
Agar-agar Stick |
(+) |
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Bahan pewarna terbagi menjadi
dua yaitu pewarna alami dan pewarna sintetis. Pewarna alami yaitu zat warna
yang diperoleh dari hewan dan tumbuh-tumbuhan seperti karamel, coklat, dan daun
suji. Sedangkaan pewarna buatan atau pewarna sintetik merupakan pewarna yang
dibuat dari bahan-bahan kimia. Proses pembuatan pewarna sintetik ini biasanya
melalui perlakuan pemberian asam sulfat, atau asam nitrat yang seringkali
terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun (Winarno,
1992).
Di Indonesia, peraturan
mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur
melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX SS mengenai bahan
tambahan pangan.Akan tetapi, seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat
pewarna untuk senbarangan bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan
kulit dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi
kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Timbulnya
penyalahgunaan tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat
mengenai zat warna untuk pangan, dan di samping itu harga zat pewarna untuk
industry jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan.
Hal ini disebabkan bea masuk zatpewarna untuk bahan pangan jauh lebih tinggi
daripada zat pewarna bahan nonpangan. Lagi pula, warna dari zat pewarna tekstil
atau kulit biasanya lebih menarik (Cahyadi,2006).
Makanan yang mengandung pewarna bukan untuk
makanan, seperti pewarna tekstil ini, hendaknya dihindari mengingat
dalam sejumlah penelitian, muncul dugaan bahwa zat-zat tersebut bisa
menyebabkan kanker pada manusia (Yuliarti, 2007). Oleh karena itu, perlu
diadakan pemisahan antara pewarna yang hanya digunakan untuk industri
nonpangan. Akan tetapi, masih sering terjadi penyalahgunaan pewarna sintetis
nonpangan untuk pangan (Cahyadi, 2006).
Dari berbagai jenis pewarna
tekstil yang disalahgunakan sebagai pewarna makanan, yang paling banyak
digunakan adalah rhodamin B dan metanyl yellow. Padahal keduanyadapat
mengakibatkan gangguan kesehatan yang mungkin baru muncul bertahun-tahun
setelah kita mengonsumsinya. Penggunaan rhodamin B pada makanan dalam waktu
yang lama akan mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker. Bila rhodamin
B tersebut masuk melalui makanan maka akan mengakibatkan iritasi pada saluran
pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing yang berwarna
merah ataupun merah muda (Yuliarti, 2007).
Babu dan Indushekhar (1990),
telah melaporkan hasil penelitiannya, bahwa deteksi zat pewarna sintetik dapat
dilakukan secara sederhana dengan menggunakan peralatan yang sederhana, seperti
gelas, air dan kertas saring. Sehingga tidak diperlukan adanya pelarut ataupun
memerlukan tersedianya peralatan khusus. Keunggulan lain dari metoda sederhana
ini adalah tidak diperlukannya standar pembanding (kecuali ingin mendeteksi zat
pewarna apa). Setelah zat pewarna diteteskan di ujung kertas rembesan (elusi),
air dari bawah akan mampu menyeret zat-zat pewarna yang larut dalam air (zat
pewarna makanan) lebih jauh dibandingkan dengan zat pewarna tekstil (Winarno,
1992). Akan tetapi hasil uji dengan metoda tersebut perlu pula dikonfirmasi
lebih lanjut dengan uji yang dikerjakan di laboratorium dengan menggunakan
metoda konvensional. Sehingga dapat benar-benar diyakini bahwa bahan pewarna
tersebut tidak mengandung bahan pewarna untuk tekstil.
Uji pewarna tekstil ini
menggunakan kromatografi kertas. Prinsip kromatografi kertas adalah adsorbsi
dan kepolaran, di mana adsorbsi didasarkan pada panjang komponen dalam campuran
yang diadsorbsi pada permukaan fase diam. dan kepolaran komponen berpengaruh
karena komponen akan larut dan terbawa oleh pelarut jika memiliki kepolaran yang sama serta
kecepatan migrasi pada fase diam dan fase gerak (Yazid, 2005).
Dalam teknik kromatografi
kertas, proses pengeluaran asam mineral dari kertas disebut desalting. Larutan
ditempatkan pada kertas dengan menggunakan mikropipet pada jarak 2-3 cm dari
salah satu ujung kertas dalam bentuk coretan garis horizontal. Setelah kertas
dikeringkan, diletakkan di ruang yang sudah dijenuhkan dengan air atau dengan
pelarut yang sesuai. Penjenuhan dapat dilakukan 24 jam sebelum analisis. Descending
adalah salah satu teknik di mana cairan dibiarkan bergerak menuruni kertas akibat
gravitasi. Pada teknik ascending, pelarut bergerak ke atas dengan gaya
kapiler. Nilai Rf harus sama baik pada descending maupun ascending
(Khopkar, 2003). Praktikum kali ini menggunakan teknik ascending karene
fase gerak bergerak naik keatas. Fase diamnya adalah kertas itu sendiri dan
fase geraknya adalah air.
Kertas merupakan selulosa murni yang memiliki
afinitas terhadap air atau pelarut polar lainnya. Bila air diadsorbsikan pada
kertas, maka akan membentuk lapisan tipis yang dapat dianggap analog dengan
kolom. Lembaran kertas berperan sebagai penyangga dan air bertindak sebagai
fase diam yang terserap di antara struktur pori kertas. Cairan fase bergerak
yang biasanya berupa campuran dari pelarut organik dan air, akan mengalir
membawa noda cuplikan yang didepositkan pada kertas dengan kecepatan yang
berbeda (Yazid, 2005).
Identifikasi Boraks
Tabel 2. Hasil Pengamatan Identifikasi Boraks
Sampel |
Boraks
(+/-) |
|
Baso |
Pasar |
(-) |
Vigo |
(-) |
|
+Boraks |
(+) |
|
Nugget |
Bellfoods |
(-) |
Pasar |
(+) |
(Sumber: Dokumentasi
Pribadi, 2017)
Boraks adalah senyawa dengan nama kimia natrium tetraborat (NaB4O7).
berbentuk padat, jika terlarut dalam air akan menjadi natrium hidroksida dan
asam borat (H3BO3). Dengan demikian bahaya boraks identik
dengan bahaya asam borat (Khamid, 2006).
Meskipun bukan pengawet
makanan, boraks sering pula digunakan sebagai pengawet makanan. Boraks sering
disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai makanan seperti bakso, mie basah,
pisang molen, siomay, lontong, ketupat dan pangsit. Selain bertujuan untuk
mengawetkan, boraks juga dapat membuat tekstur makanan menjadi lebih kenyal dan
memperbaiki penampilan makanan (Vepriati, 2007).
Boraks menimbulkan efek racun
pada manusia, toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung
dirasakan oleh konsumen. Boraks apabila terdapat pada makanan, maka dalam waktu
jangka lama walau hanya sedikit akan terjadi akumulasi (penumpukan) dalam otak,
hati, ginjal dan jaringan lemak. Pemakaian dalam jumlah banyak dapat menyebabkan
demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan,
kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan
kematian (Khamid, 1993). Dalam dosis cukup tinggi dalam tubuh, akan menyebabkan
timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut, sianosis,
kompulsi. Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gram
atau lebih dapat menyebabkan kematian, sedangkan untuk orang dewasa kematian
terjadi pada dosis 10-20 gram atau lebih (Winarno dan Rahayu, 1994).
Metode yang digunakan dalam
pengujian boraks ini adalah metode pengabuan. Metode pengabuan ini juga hanya
sekedar menunjukkan bahwa bahan
makanan yang diuji mengandung boraks atau tidak. Sedangkan berapa banyak
boraksyang ada di bahan makanan tersebut tidak bisa diketahui dengan metode ini
(Rohman dan Sumantri, 2007). Hasil praktikum menunjukkan sampel baso + boraks
dan nugget pasar mengandung boraks, ditandai dengan terbentuknya api
bewarna hijau.
Identifikasi Formalin
Tabel 3. Hasil Pengamatan Identifikasi Formalin
Sampel |
Formalin (+/-) |
Mi kuning |
(+) |
Tahu kuning |
(-) |
Ikan asin |
(+) |
Blanko |
(+) |
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Formalin atau formaldehida (HCOH) adalah larutan tak
berwarna yang berbau tajam dengan kandungan kimia 37% formladehid (metanal),
15% metanol, dan sisanya adalah air. Bahan ini larut dalam air dan sangat mudah
larut dalam etanol dan eter dan juga sangat mudah menguap. Formalin digunakan
untuk mengawetkan mayat namun sering disalahgunakan sebagai pengawet bahan
pangan seperti contoh pada tahu, mie, dan bakso (Moffat, 1986).
Formalin sangat berbahaya bila tertelan dan akibat yang
ditimbulkan dapat berupa bahaya kanker pada manusia. Apabila tertelan maka
mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit menelan, mual, muntah, dan
diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala,
hipotensi (tekanan darah rendah), kejang, tidak sadar hingga koma. Selain itu
juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pancreas, sistem
susunan saraf pusat dan ginjal (Astawan, 2006).
Pengujian formalin ini menggunakan asam kromatopat dengan
cara destilasi. Cara ini merupakan cara kualitatif, cara kuantitatifnya dapat
menggunakan spektrofotometer karena larutan yang terbentuk bewarna Adanya HCHO
ditunjukkan dengan adanya warna ungu terang sampai ungu tua (Cahyadi, 2006).
Destilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan
bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap
(volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga
menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat
yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu (Syukri,2007).
Dalam hal ini formalin menguap lebih dahulu dibandingkan air.
Destilasi merupakan teknik pemisahan yang didasari atas
perbedaan perbedaan titik didik atau titik cair dari masing-masing zat penyusun
dari campuran homogen. Dalam proses destilasi terdapat dua tahap proses yaitu
tahap penguapan dan dilanjutkan dengan tahap pengembangan kembali uap menjadi
cair atau padatan. Atas dasar ini maka perangkat peralatan destilasi
menggunakan alat pemanas dan alat pendingin (Wahyu, 2013). Pemanas dan
pendingin yang digunakan terdapat dalam satu rangkaian alat destilasi, sebagai
pendingin umumnya digunakan kondensor. Kondensor adalah suatu alat sebagai
kondensasi refrigeran, uap dari kompresor dengan suhu tinggi dan tekanan
tinggi. Kondensor berfungsi untuk membuang kalor yang diserap dari evaporator
dan panas yang diperoleh dari kompresor, serta mengubah wujud gas menjadi cair
(Widagdo, 2010).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan agar stick
dan saos mengandung pewarna tekstil. Baso + boraks dan nugget pasar
positif mengandung boraks serta mi kuning, ikan asin dan blanko positif
mengandung formalin.
DAFTAR PUSTAKA
Astawan,
Made, 2006. Mengenal Formalin dan
Bahayanya. Penebar Swadaya, Jakarta.
Baliwati,
Y. F. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Cahyadi, W. 2006. Analisis & Aspek Kesehatan Bahan
Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.
Hughes, C. 1987. The Additives Guide. Jhon
Wiley and Sons, Chichester.
Khamid, I. R. 2006. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan.
Penerbit Kompas, Jakarta.
Khopkar, SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik.
UI-Press, Jakarta.
Moffat, A.C. 1986. Clarke’s Isolation and
Identification of Drugs. The Pharmaceutical Press, London.
Rohman, A. dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan.
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Saparinto, C. dan Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan
Pangan. Kanisius, Yogyakarta.
Vepriati, N. 2007. Surveilans Bahan Berbahaya pada
Makanan di Kabupaten Kulon Progo. Dinkes Kulon Progo, Kulon Progo.
Widyaningsih, T. D. dan E. S Murtini. 2006. Alternatif
Pengganti Formalin pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F.G. dan T.S. Rahayu. 1994. Bahan Makanan
Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Yazid, Estien. 2005. Kimia Fisik untuk Paramedis.
ANDI, Yogyakarta.
PDFnya disini
Kalau linknya bermasalah bisa kontak aku lewat ig ya
Tidak ada komentar: